BERSYUKURLAH MAKA NIKMAT AKAN BERTAMBAH
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Ada tiga hal yang harus dilakukan manusia ketika menerima
nikmat Allah agar ia dipandang sebagai hamba yang bersyukur kepada-Nya.
Pertama: secara batiniah ia harus mengakui telah menerima nikmat dari Allah.
Kedua: secara lahiriah ia mengucapkan syukur atas nikmat itu. Ketiga: ia harus
menjadikan nikmat itu sebagai pendorong untuk lebih giat beribadah kepada Allah
Swt. Bila ketiga hal tersebut telah berpadu dalam diri seorang hamba, maka ia
layak dikatakan sebagai hamba yang bersyukur kepada Allah.
Tiga hal tersebut sebenarnya perpaduan antara hati, lisan
dan perbuatan. Hati menjadi media untuk merasakan dan meyakini bahwa Allah-lah
yang telah memberikan nikmat itu, bukan yang lain. Hati senantiasa merasakan
kebaikan Allah sehingga mengakui sifat-sifat Maha Luhur yang dimiliki-Nya.
Pengakuan ini akan membuka pintu ke arah ma’rifatullah dan mahabbatullah. Lisan
sebagai media untuk memuji kebaikan-Nya itu, sementara perbuatan merupakan
transformasi kesyukuran itu yang nampak dalam bentuk ketaatan beribadah dan
pencegahan diri dari segala macam bentuk kemaksiatan.
Perpaduan hati, lisan, dan perbuatan bukan hanya prasyarat
dalam bersyukur kepada Allah, namun jauh lebih mendasar daripada itu juga pada
pengertian iman. Iman tidak sempurna kalau hanya ada di hati, sementara tidak
ada dalam lisan dan perbuatan. Hilangnya iman dari salah satu komponen itu
menyiratkan ketidaksempurnaannya. Maka, ketiganya harus padu dalam diri
orang-orang yang beriman kepada Allah Swt.
Penjelasan ini membawa kita pada pengertian lebih lanjut
bahwa bersyukur dan beriman kepada Allah laksana dua sisi mata uang, keduanya
tidak bisa dipisahkan. Hal ini nampak dalam penegasan Allah yang tertuang dalam
Al-Qur’an Surat An-Nisa’ [4] ayat 147:
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan
beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.”
Pada ayat tersebut bersyukur dan beriman digandengkan Allah.
Orang yang benar bersyukurnya pada Allah pastilah imannya juga benar. Demikian
pula, manakala seseorang memiliki iman yang benar kepada Allah, niscaya ia akan
menjadi pribadi yang selalu mensyukuri nikmat Allah. Jika keduanya berpadu
dalam diri seseorang maka tidak ada alasan bagi Allah untuk menimpakan siksa
padanya. Allah Maha Tahu siapa di antara manusia yang benar-benar beriman dan
bersyukur kepada-Nya.
Manusia yang senantiasa bersyukur kepada Allah memiliki
kemuliaan dan keistimewaan dibandingkan yang lain. Ia akan selalu merasakan
nikmat Allah dalam hidupnya. Rasa syukur dan merasakan kehadiran nikmat itu
selalu bersama. Semakin banyak seseorang bersyukur, semakin banyak nikmat Allah
yang dirasakannya. Semakin banyak nikmat yang ia rasakan, semakin dalam rasa
syukurnya pada Allah. Keberadaan orang-orang yang seperti ini akan selalu
disertai oleh anugerah Allah. Di mana pun ia berada dan kondisi apa pun yang ia
alami, Allah selalu melimpahkan keberkahan padanya. Allah Swt. telah
menyebutkan hal itu dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am [6] ayat 53:
“Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka
(orang-orang yang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang yang miskin),
supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di
antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?’ (Allah berfirman):
‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur
(kepadaNya)?’”
Kekayaan dan kemiskinan adalah cara Allah menguji manusia,
siapa di antara mereka yang bersyukur kepada-Nya. Kekayaan adalah ujian
seberapa besar manusia masih mengingat Allah ketika hidupnya secara materi
diberi Allah kecukupan bahkan berlebih. Kemiskinan juga ujian seberapa besar
manusia mampu bersabar dalam keadaan hidup yang secara materi kekurangan. Di
antara orang-orang kaya ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur. Di antara
orang-orang miskin pun ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur. Namun,
seperti yang diinformasikan Allah pada ayat di atas, kebanyakan di antara
orang-orang kaya tidak begitu percaya bahwa di tengah kekurangan hidup orang-orang
miskin ada anugerah Allah yang tak ternilai. Mereka menyangka anugerah Allah
itu hanya terlimpah pada mereka dengan bukti kelebihan harta yang mereka
miliki. Padahal Allah Maha Mengetahui siapa di antara manusia yang bersyukur
dan Maha Bijaksana dalam menentukan anugerah apa yang terbaik untuk diberikan
kepada hamba-hamba yang bersyukur pada-Nya.
Menyimak cara yang ditunjukkan manusia dalam menyikapi
nikmat Allah, ada dua kelompok manusia yang bisa disebutkan: yang bersyukur dan
yang kufur. Terhadap kedua kelompok manusia ini Allah menunjukkan sikap yang
berbeda. Manusia yang bersyukur akan mendapatkan bimbingan Allah ke jalan yang
diridhai-Nya, di samping adanya tambahan nikmat yang akan diperolehnya.
Sedangkan manusia yang kufur atau yang mengingkari nikmat Allah, maka Allah
akan biarkan ia terus berada dalam kesesatan dan pemberian Allah yang terbaik
baginya hanyalah siksaan yang pedih. Allah adalah Dzat yang tidak membutuhkan
apa pun dari makhluk-Nya, namun Dia amat murka pada siapa pun yang tidak pandai
berterima kasih kepada-Nya.
Simaklah beberapa firman Allah berikut ini. Tersebut dalam
Al-Qur’an Surat Al-Insan [76] ayat 3:
“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan yang lurus; ada
yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”
Dalam Surat Ibrahim [14] ayat 7 Allah berfirman:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih.”
Bukankah Allah sudah sangat baik kepada manusia dengan
menunjukkan jalan yang lurus kepada mereka? Namun manusia tetaplah pada
sikapnya. Bagi yang menundukkan bisikan hawa nafsunya, jadilah mereka sebaga
hamba-hamba yang bersyukur pada Allah. Tetapi bagi yang ditundukkan oleh hawa
nafsunya, jadilah mereka sebagai hamba-hamba yang kufur kepada-Nya. Setiap
keputusan yang diambil selalu disertai resiko. Manusia berhak menentukan apa
saja yang menjadi pilihannya dan setiap pilihan ada pertanggungjawabannya di
sisi Allah Swt. Yang bersyukur akan memperoleh tambahan nikmat yang berlipat
ganda dari Allah, sementara yang kufur akan memperoleh siksa yang amat pedih
dari-Nya.
Bersyukur sesungguhnya merupakan jalan pintas yang dapat
ditempuh setiap hamba Allah untuk mendekatkan diri pada-Nya. Bersyukur juga
merupakan cara cepat untuk meraih kecintaan Allah. Karena bersyukur merupakan
ibadah yang cepat mengundang turunnya kasih sayang Allah, maka Iblis berusaha
semaksimal mungkin menjauhkan manusia dari sifat syukur ini. Iblis berjanji di
hadapan Allah akan menjerumuskan manusia dari jalan yang lurus dan membuat
mereka untuk tidak bersyukur kepada-Nya. Hal ini diceritakan Allah dalam
Al-Qur’an Surat Al-A’raf [7] ayat 17, di dalamnya Iblis mengatakan:
“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari
belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”
Tidak bisa dipungkiri bahwa usaha Iblis membuat manusia
untuk tidak bersyukur kepada Allah menunjukkan hasilnya. Begitu banyak jumlah
manusia yang kufur terhadap nikmat-nikmat Allah. Iblis terkadang membisikkan
pada hati manusia pengertian bahwa nikmat Allah itu hanyalah dalam wujud uang,
sehingga orang-orang miskin yang tidak memiliki banyak uang, banyak yang merasa
tidak mendapat nikmat Allah. Mereka tidak mau mengungkapkan rasa syukurnya pada
Allah. Bahkan, tidak jarang mereka menempuh cara-cara yang diharamkan Allah
demi memperoleh uang. Mereka lupa bahwa nikmat Allah tidak bisa dibatasi hanya
dalam bentuk uang. Nikmat Allah mewujud di seluruh alam ini dengan berbagai macam
bentuk. Ada yang wujudnya kekayaan, jabatan, ketenangan hidup, ketentraman
jiwa, kesehatan, kekuatan untuk selalu taat pada-Nya, dan sebagainya.
Disebabkan mereka membatasi pengertian nikmat Allah, maka mereka pun sangat
terbatas dalam merasakan kehadiran nikmat dalam hidup mereka. Akhirnya, mereka
terjerumus dalam jurang kufur nikmat.
Ada pula di antara orang-orang kaya dan para pejabat yang
berkecukupan namun lupa bahwa semua yang diraihnya adalah anugerah Allah.
Mereka menyangka apa pun yang mereka peroleh sebagai hasil kerja keras dan
usaha mereka yang tak kenal lelah. Mereka berlepas diri dari hubungan dengan
Tuhan. Mereka mengagung-agungkan kemampuan, kecerdasan, dan kelihaian dalam
melihat peluang yang mereka miliki. Akhirnya, mereka pun terjerumus ke jurang
kufur nikmat. Semua itu adalah wujud kesuksesan Iblis memperdaya manusia untuk
jauh dari sifat syukur pada-Nya. Tentang hal itu Allah berfirman dalam Surat
Saba’ [34] ayat 13:
“…Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”
Rasul Saw. adalah sosok manusia yang ingin sekali menjadi
hamba yang paling banyak bersyukur kepada Allah. Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari-Muslim, yang bersumber dari ‘Aisyah ra., disebutkan bahwa
demi menjadi seorang yang banyak bersyukur beliau selalu mengerjakan qiyamul
lail setiap malam, hingga membengkak kakinya. Melihat kenyataan itu ‘Aisyah
memberanikan diri bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa engkau sangat giat
beribadah, bahkan hingga kedua telapak kakimu membengkak? Bukankah Allah telah menjaminmu
masuk ke dalam Surga dan seluruh dosamu pun telah diampuni?” Terhadap
pertanyaan itu Nabi Saw. menjawab, “Wahai ‘Aisyah, bukankah aku belum menjadi
hamba Allah yang banyak bersyukur?”
Pada saat beliau mengakui dirinya belum menjadi hamba Allah
yang banyak bersyukur, kenyataan yang terlihat adalah kedua telapak kakinya
membengkak karena banyak mendirikan qiyamul lail. Tidak ada di antara manusia
yang mampu menandingi banyaknya ibadah seperti yang beliau kerjakan. Tapi
beliau masih tetap merasa ungkapan syukur yang telah dilakukannya belum
mencukupi. Beliau selalu merasa bahwa kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah
padanya jauh lebih banyak dibandingkan dengan ibadah yang telah dipersembahkannya
kepada Allah. Kesadaran inilah yang melahirkan energi luar biasa pada diri Nabi
sehingga mampu beribadah kepada Allah jauh melebihi ibadah yang dilakukan orang
lain, bahkan yang dilakukan oleh para Nabi yang lain.
Sementara itu, yang sangat luar biasa pada diri Nabi Saw.
adalah jaminan untuk masuk Surga dan ampunan dosa yang diberikan Allah padanya
tidak membuat ibadahnya berkurang. Beliau justru semakin tekun. Jaminan masuk
Surga dan ampunan dosa itu merupakan nikmat Allah yang tak ternilai harganya.
Untuk membalas satu nikmat itu saja, ibadah yang beliau lakukan tidak akan
mencukupi meskipun dalam rentang waktu seumur hidup. Beliau sangat menyadari
Kemahabaikan Allah. Semakin banyak nikmat yang diberikan Allah, semakin giat
Rasulullah mengabdi kepada-Nya. Dan, karena semakin giat pengabdian Rasul
kepada-Nya, Dia pun semakin menambah nikmat-Nya pada beliau. Keadaan itu akan
berjalan terus menerus tanpa putus, sehingga hubungan Allah dengan beliau
selalu terjalin tanpa terhalangi oleh batasan ruang dan waktu.
Bersyukur kepada Allah adalah kewajiban yang harus dilakukan
manusia disebabkan banyaknya nikmat yang telah diberikan oleh-Nya. Tapi tidak
mudah untuk menunaikan kewajiban tersebut, karena begitu banyak tipu daya yang
dibentangkan Iblis agar manusia tidak bersyukur kepada Allah. Oleh karena itu,
sebagai manusia yang lemah kita harus memohon pertolongan kepada Allah agar Dia
menguatkan hati kita agar tetap bersyukur kepada-Nya. Imam Ahmad dan Imam
At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisi nasehat Rasul kepada Mu’adz
bin Jabbal. Nabi Saw. bersabda:
“Wahai Mu’adz, hendaklah engkau tidak lupa pada setiap
selesai melaksanakan shalat untuk mengucapkan doa: ‘Ya Allah, berilah
pertolongan padaku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan
memperbaiki ibadah untuk-Mu.”
Nasehat Agar Selalu Mensyukuri Nikmat Allah
‘Umar bin Abdul Aziz berkata, “Ikatlah nikmat Allah dengan
selalu bersyukur kepada-Nya.”
Hasan Al-Bashri berkata, “Bila engkau sering menyebut-nyebut
nikmat yang Allah berikan padamu, itu merupakan pertanda adanya rasa syukur
dalam hatimu.”
Abu Al-Mughirah berkata, “Setiap saat aku selalu tenggelam
dalam samudera nikmat Allah Yang Maha Luas sehingga aku tak tahu lagi bagaimana
cara mensyukurinya.”
Abu Hazim berakata, “Salah satu cara bersyukur yang bisa kau
lakukan adalah, bila kau melihat sesuatu yang baik, ceritakanlah. Tapi, bila
kau menyaksikan sesuatu yang buruk, diamlah dan simpanlah ia hanya untuk
dirimu.”
Sesungguhnya banyak nasehat yang telah terucap, namun bagi
hamba Allah yang selalu rindu pada Tuhan-nya satu nasehat pun sudah cukup
baginya untuk terdorong selalu bersyukur kepada Allah. Maka bersyukurlah,
niscaya nikmat itu akan ditambah Allah untukmu. Wallahu a’lam.
“Waspadalah bila kau lihat Tuhan-mu terus menerus
melimpahkan nikmat atas dirimu, sementara kau terus menerus mengerjakan maksiat
terhadap-Nya.”
(Mutiara Nahjul Balaghah, hal. 122)
Komentar
Posting Komentar